Orang Tua Istri Sakit, Tapi Suami Tidak Mengizinkan Menjenguknya, Ini Hukumnya

Orang Tua Istri Sakit, Tapi Suami Tidak Mengizinkan Menjenguknya, Ini Hukumnya



Riwayat 1
Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Muhammad ‘Abd bin Humaid rahimahullah:



حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ، حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ عَطِيَّةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا ثَابِتٌ، عَنْ أَنَسٍ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَحْتَ رَجُلٍ، فَمَرِضَ أَبُوهَا، فَأَتَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَبِي مَرِيضٌ، وَزَوْجِي يَأْبَى أَنْ يَأْذَنَ لِي أَنْ أُمَرِّضَهُ، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: ” أَطِيعِي زَوْجَكَ ” فَمَاتَ أَبُوهَا، فَاسْتَأْذَنَتْ زَوْجَهَا أَنْ تُصَلِّيَ عَلَيْهِ، فَأَبَى زَوْجُهَا أَنْ يَأْذَنَ لَهَا فِي الصَّلاةِ، فَسَأَلَتِ النَّبِيَّ فَقَالَ لَهَا: ” أَطِيعِي زَوْجَكِ ” فَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، وَلَمْ تُصَلِّ عَلَى أَبِيهَا، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: ” قَدْ غَفَرَ اللَّهُ لأَبِيكَ بِطَوَاعِيَتِكَ لِزَوجِكَ

Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin ‘Abdil Hamiid, telah menceritakan kepada kami Yuusuf bin ‘Athiyyah, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Tsaabit, dari Anas, bahwa ada seorang wanita yang berada di bawah laki-laki (maksudnya ia sangat patuh pada suaminya, -pent) lalu pada suatu saat ayahnya jatuh sakit, maka wanita tersebut mendatangi Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam seraya mengadukan permasalahannya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku sedang sakit namun suamiku tidak mengizinkanku merawatnya.” Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Ta’atilah suamimu.”

Lalu wafatlah ayah si wanita tersebut dan ia pun meminta izin suaminya untuk menshalati jenazah ayahnya, namun suaminya tidak mengizinkannya untuk menshalati ayahnya. Si wanita kembali mengadu kepada Nabi, dan Nabi tetap menjawabnya, “Ta’atilah suamimu.”

Maka si wanita mematuhi perintah suaminya dan ia pun tidak menshalati jenazah ayahnya, lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Sungguh Allah telah mengampuni ayahmu karena sebab keta’atan-keta’atanmu kepada suamimu!” [Musnad ‘Abd bin Humaid no. 1367; Daar Balansiyyah, Ar-Riyaadh]

Asy-Syaikh Musthafaa bin Al-‘Adawiy hafizhahullah dalam tahqiiq-nya terhadap Musnad ‘Abd bin Humaid mengatakan bahwa sanadnya dha’if jiddan karena sebab Yuusuf bin ‘Athiyyah.

Yuusuf bin ‘Athiyyah bin Baab Ash-Shaffaar Al-Anshaariy, Abu Sahl As-Sa’diy. Ibnu Ma’iin dan Abu Daawud berkata “tidak ada nilanya”, ‘Amr bin ‘Aliy Al-Fallaas berkata “banyak wahm dan kelirunya” kemudian ia membawakan contoh hadits yang terdapat wahm tersebut, Al-Jauzajaaniy tidak memuji haditsnya, Al-Bukhaariy berkata “munkarul hadiits”, Abu Haatim, Abu Zur’ah dan Ad-Daaraquthniy melemahkannya, An-Nasaa’iy berkata “matruukul hadiits, tidak tsiqah”, begitu pula Abu Bisyr Ad-Daulaabiy mengatakan Yuusuf matruuk, Ibnu ‘Adiy berkata “semua hadits-haditsnya tidak mahfuuzh dan tidak mempunyai mutaba’ah”, Ibnu Hibbaan berkata “membolak-balikkan khabar dan menggabungkan matan-matan palsu dengan sanad-sanad yang shahih, tidak boleh menjadikannya hujjah”, Al-Haafizh berkata “Abu Sahl matruuk”. [Tahdziibul Kamaal no. 7145; Taqriibut Tahdziib no. 7873]

Riwayat 2
Diriwayatkan oleh Al-Imam Abul Qaasim Ath-Thabaraaniy rahimahullah :



وَبِهِ: حَدَّثَنَا زَافِرٌ، عَنْ ثَابِتِ بْنِ الْبُنَانِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّ رَجُلا خَرَجَ وَأَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ لا تَخْرُجَ مِنْ بَيْتِهَا، وَكَانَ أَبُوهَا فِي أَسْفَلِ الدَّارِ، وَكَانَتْ فِي أَعْلاهَا، فَمَرِضَ أَبُوهَا، فَأَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرَتْ لَهُ ذَلِكَ، فَقَالَ: ” أَطِيعِي زَوْجَكِ “، فَمَاتَ أَبُوهَا، فَأَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: ” أَطِيعِي زَوْجَكِ “، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: ” إِنَّ اللَّهَ غَفَرَ لأَبِيهَا بِطاعَتِهَا لِزَوْجِهَا

Dan dengan sanadnya : telah menceritakan kepada kami Zaafir, dari Tsaabit bin Al-Bunaaniy, dari Anas bin Maalik, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bahwa ada seorang laki-laki yang keluar (untuk bersafar) dan ia pun memerintahkan istrinya untuk tidak keluar dari rumahnya, sementara ayahnya si wanita tinggal di lantai bawah rumah dan si wanita tinggal di lantai atas.

Suatu hari sang ayah jatuh sakit, maka si wanita mengutus seseorang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan ia pun menyebutkan kondisinya kepada Nabi (bahwa ia ingin merawat ayahnya yang berada di lantai bawah namun suaminya memerintahkan untuk tetap berada dirumah, -pent). Bersabdalah Nabi, “Ta’atilah suamimu.”

Lalu wafatlah sang ayah dan si wanita kembali mengutus seseorang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam (bahwa ia ingin menshalati jenazah ayahnya namun suaminya memerintahkan untuk tetap berada dirumah, -pent).

Bersabdalah Nabi, “Ta’atilah suamimu.” Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengutus utusan tersebut kepada si wanita untuk memberitahukannya bahwa : “Sesungguhnya Allah telah mengampuni ayahnya dengan sebab keta’atannya kepada suaminya.” [Mu’jam Al-Ausath no. 7648; Daar Al-Haramain]

Hadits ini teriwayatkan seperti sanad sebelumnya, yaitu no. 7647, dan bertemu di Zaafir bin Sulaimaan yang pada hadits nomor berikutnya (yaitu no. 7648) meriwayatkannya dari Tsaabit ; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muusaa, telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Sahl bin Makhlad Al-Ishthakhriy, telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ishmah bin Al-Mutawakkil, telah mengkhabarkan kepada kami Zaafir bin Sulaimaan…

Lebih lanjut, Al-Imam Ath-Thabaraaniy berkata:

لم يرو هذه الأحاديث عن زافر بن سليمان إلا عصمة بن المتوكل

“Hadits-hadits ini tidak teriwayatkan dari Zaafir bin Sulaimaan kecuali oleh ‘Ishmah bin Al-Mutawakkil.”

Al-Haafizh Abul Hasan Al-Haitsamiy rahimahullah dalam Majma’ Az-Zawaa’id 4/316 berkata :

فيه عصمة بن المتوكل وهو ضعيف

“Didalam sanadnya ada ‘Ishmah bin Al-Mutawakkil dan ia perawi dha’if.”

‘Ishmah bin Al-Mutawakkil Al-Hanafiy Al-Qaadhiy, meriwayatkan dari Syu’bah, Abu Ja’far Al-‘Uqailiy berkata “kurang dhabith dalam haditsnya, berturut-turut mengalami wahm”, Ibnu Hibbaan menyebutkan dalam Ats-Tsiqaat seraya berkata “mustaqiimul hadiits”, Ahmad -sebagaimana dinukil Al-Haafizh- berkata “aku tidak mengetahuinya” kemudian disebutkan satu hadits yang diriwayatkan ‘Ishmah, dan Ahmad berkata “hadits ini tidak mempunyai asal”. [Miizaanul I’tidaal 5/87; Lisaanul Miizaan 5/439]

Kami tambahkan bahwa sumber kelemahan bukan hanya dari ‘Ishmah bin Al-Mutawakkil, namun juga Zaafir.

Zaafir bin Sulaimaan Al-Iyaadiy, Abu Sulaimaan Al-Quhustaaniy. Ahmad dan Ibnu Ma’iin mentautsiq-nya, Al-Bukhaariy berkata “padanya ada hadits-hadits mursal dan wahm”, Abu Daawud berkata “tsiqah, laki-laki shaalih”, An-Nasaa’iy berkata “padanya ada hadits-hadits munkar dari Maalik”, dan dalam riwayat lain ia berkata “bukan perawi yang kuat”, Zakariyaa As-Saajiy berkata “banyak mengalami wahm”, Ibnu Hibbaan berkata “banyak kesalahan dan kaya akan wahm diatas kejujuran yang ada pada dirinya”, Ibnu ‘Adiy berkata “hadits-haditsnya terbolak-balik pada sanad dan matan, semua haditsnya tidak memiliki penguat, haditsnya ditulis bersama dengan kelemahannya”, Al-Haafizh berkata “shaduuq, banyak mengalami wahm”, Syu’aib Al-Arna’uuth berkata “dha’if, memerlukan penguat”. [Tahdziibul Kamaal no. 1947; Miizaanul I’tidaal 3/94; Taqriibut Tahdziib no. 1979; Tahriirut Taqriib 1/409]

Yang nampak adalah Zaafir shaduuq sebagaimana dikatakan Al-Haafizh. Tautsiq Ahmad, Ibnu Ma’iin dan Abu Daawud hanyalah dari sisi keshalihan dan kejujurannya saja, namun dari sisi periwayatan hadits ia dha’if karena banyaknya kekeliruan dan mengalami wahm serta ia memiliki riwayat-riwayat munkar dari Imam Maalik.

Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan Al-Arna’uuth, haditsnya butuh mutaba’ah dari jalan yang lain. Bila ia tafarrud, maka ia dha’if dan tidak bisa dijadikan hujjah.

Maka, jelaslah bahwa riwayat kedua ini adalah hadits dha’if. Dilemahkan Al-Albaaniy rahimahullah dalam Irwaa’ Al-Ghaliil 7/76-77.

Bagaimana Hukumnya Suami yang Tidak Mengizinkan Istri Untuk Menjenguk atau Merawat Orangtuanya Ketika Sakit?
Al-Imam Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:

وله منعها من شهود جنازة أمها وأبيها وولدها ، وما أحب ذلك له

“Suaminya berhak melarang istrinya untuk melayat jenazah ibunya, ayahnya atau anaknya, namun aku tidak menyukai ia melakukan hal itu.”

Kemudian dikomentari oleh Al-Imam Abul Hasan Al-Maawardiy rahimahullah:

وَهَذَا صَحِيحٌ، وَلِلزَّوْجِ مَنْعُ امْرَأَتِهِ مِنَ الْخُرُوجِ مِنْ مَنْزِلِهِ، لِأَنَّ دَوَامَ اسْتِحْقَاقِهِ لِلِاسْتِمْتَاعِ بِهَا يَمْنَعُهَا مِنْ تَفْوِيتِ ذَلِكَ عَلَيْهِ بِخُرُوجِهَا

“Dan inilah pendapat yang paling kuat yaitu sang suami melarang istrinya keluar dari kediamannya, karena telah tetap hak sang suami untuk bersenang-senang dengan istrinya dan dengan keluarnya sang istri maka suaminya pun tertahan dari melakukan hal tersebut.” [Al-Haawiy Al-Kabiir 9/584], kemudian Al-Maawardiy membawakan riwayat diatas dan berdalil dengannya.

Namun telah jelas bagi kita bahwa riwayat-riwayat ini adalah riwayat lemah yang tidak bisa dijadikan dasar pijakan hukum seorang suami tidak mengizinkan istrinya.

Bahkan sekedar untuk menjenguk orangtuanya yang sedang sakit yang mana mungkin saja orangtuanya tersebut membutuhkan kehadiran anaknya sebagai pembangkit semangat hidup dalam menghadapi penyakit, atau mereka ingin melihat anaknya untuk terakhir kali sebelum menghembuskan napas terakhir.

Simaklah pendapat Al-Imam Muhyiddiin An-Nawawiy rahimahullah berikut yang berbeda dengan kedua pendahulunya diatas :

وجملة ذلك أن للزوج أن يمنع زوجته من ذلك وقد أخذ أصحابنا من نصه هذا أن له ان يمنعها من عيادة ابيها وامها إذا مرضا ومن حضور مواراتهما إذا ماتا، وقد استدلوا على ذلك بحديث انس (ان إمرأة سافر زوجها ونهى امرأته عن الخروج وكان ابوها مقيم في اسفل البيت وهى في اعلاه فمرض ابوها فاستأذنت النبي صلى الله عليه وسلم في عيادته فقال لها اتقى الله ولا تخالفي زوجك فمات ابوها فأوحى الله إلى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ اللَّهَ قد غفر لابيها بطاعتها لزوجها) ولما كان هذا الحديث لم يصح عندنا حيث رواه الطبراني في الاوسط وآفته محمد عقيل الخزاعى هذا من جهة الاسناد ومتنه يعارض امورا مجمعا عليها فإن اباها له حقوق عليها لا تحصى، اقربها واظهرها
١ – حق الابوة لقوله تعالى (وبالوالدين إحسانا) قارنا ذلك بعبادته.
٢ – حق الاسلام لقوله صلى الله عليه وسلم (حق المسلم على المسلم خمس) ومنها (وإذا مرض فعده) .
٣ – حق الرحم، يقول الله تعالى (اشتققت لك اسما من اسمى فمن وصلك وصلته ومن قطعك قطعته) .
٤ – حق الآدمية أو حق الانسانية (من لا يرحم الناس لا يرحم) .
٥ – حق المشاركة في اسباب الحياة (دخلت إمرأة النار في هرة، ودخلت إمرأة الجنة في هرة) .
٦ – حق الجوار (ما زال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت انه سيورثه)
إذا ثبت هذا فإنه يكره للزوج أن ينهى زوجته عن عيادة ابيها أو بره أو إبداء حنوها ومودتها لابويها

“Dan perkataan yang demikian bahwa suami melarang istrinya menjenguk orangtuanya yang sedang sakit, sahabat-sahabat kami (yaitu ulama-ulama madzhab Syaafi’iy, -pent) telah mengambilnya sebagai dalil dari nash hadits tersebut bahwasanya sang suami berhak melarang istri dari menjenguk ayah dan ibunya jika mereka jatuh sakit dan dari melayat pemakaman keduanya jika wafat. Mereka berdalil atas hal tersebut dengan hadits Anas : (Bahwa ada seorang istri yang suaminya sedang bersafar dan ia melarang istrinya keluar sementara ayah si wanita bermukim di lantai bawah rumah dan si wanita di lantai atasnya. Lalu sang ayah jatuh sakit dan si wanita meminta izin Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk menjenguknya. Maka Nabi bersabda kepadanya, “Bertaqwalah kepada Allah dan jangan melanggar suamimu.” Wafatlah sang ayah dan Allah mewahyukan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa Allah telah mengampuni ayah si wanita dengan sebab keta’atan putrinya kepada suaminya).

Karena hadits ini tiada shahih menurut kami, dimana ia diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath dan cacatnya ada pada Muhammad bin ‘Aqiil Al-Khuzaa’iy dari sisi sanad, dan matannya bertentangan dengan perkara-perkara yang telah disepakati atas masalah ini.

Maka sesungguhnya ayah sang wanita mempunyai hak-hak yang tak terhitung (yang harus ditunaikan putrinya), hak-hak yang paling dekat dan paling nampak adalah:

1. Haknya sebagai seorang ayah, dengan firman Allah Ta’ala: (Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua), Allah mengiringi perintah yang demikian dengan perintah untuk beribadah kepadaNya.

2. Haknya didalam Islam, dengan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam: (Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada 5, salah satunya adalah jika ia sakit maka jenguklah ia).

3. Haknya untuk mendapat kunjungan silaturahim dari sang anak. Allah Ta’ala berfirman -dalam hadits qudsiy- : (Aku telah mengambil namamu (rahim) dari pecahan namaKu, maka barangsiapa menyambungmu niscaya aku akan menyambungnya, dan barangsiapa memutusmu niscaya aku akan memutusnya).

4. Haknya sebagai manusia keturunan Adam atau hak insaniyyah. Sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam : (Barangsiapa yang tidak menyayangi manusia maka ia tidak akan disayang).

5. Haknya untuk dibantu dalam hal-hal yang membuatnya bertahan hidup. Sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam : (Seorang wanita masuk neraka karena seekor kucing dan seorang wanita masuk surga karena seekor kucing).

6. Haknya sebagai tetangga. Sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam : (Jibriil senantiasa mewasiatkan kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga hingga aku mengira tetangga mendapat pula hak warisnya).

Jika telah tsabt hal ini, maka dimakruhkan bagi sang suami untuk melarang istrinya menjenguk ayahnya, berbuat baik kepadanya ataupun menunjukkan perhatian dan mawaddah (kasih sayang) kepada kedua orangtuanya. [Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 16/413-414]

Pendapat An-Nawawiy inilah yang benar di sisi kami yang mana beliau telah menjelaskan secara rinci dengan dalil-dalilnya bahwasanya ada hak-hak orangtua yang tidak dapat diabaikan sang anak, khususnya pada anak perempuan ketika ia berhadapan dengan perintah untuk ta’at kepada suaminya.

Oleh karenanya, para suami hendaknya tahu diri agar memberi izin kepada istri untuk menjenguk orangtuanya yang sedang sakit serta membolehkan istrinya untuk merawat mereka dan menunjukkan baktinya sebagai seorang anak dengan menunaikan hak-hak orangtuanya. Allah Ta’ala berfirman:

فَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ

“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada faqir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan.” [QS Ar-Ruum : 38]

Mematuhi perintah suami dalam hal-hal yang ma’ruuf memang wajib dan merupakan wasilah seorang istri memasuki surganya Allah, namun kadangkala ada situasi dan kondisi dimana seorang suami harus mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan pertimbangan maslahat serta mafsadat dari perintah dan larangannya kepada istrinya dalam kondisi khusus seperti ini.

Yang kami yakini adalah, setiap perbuatan baik akan ada ganjarannya, dan ganjaran yang terbaik ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Memberi izin kepada istri untuk merawat atau sekedar menjenguk kedua orangtuanya ketika sakit adalah termasuk perbuatan baik tersebut dan Allah selalu menyiapkan pahala bagi hamba-hambaNya yang berbuat baik.

Allah Ta’ala berfirman:

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” [QS Yuunus : 26]

Alhamdulillaahil-ladziy bi ni’matihi tatimmush-shaalihaat.
Wallaahu a’lam.

Oleh: Abu Ahmad Tommi Marsetio
Diselesaikan di Ciputat, 6 Rabii’ Ats-Tsaaniy 1436 H, dikala fajar belum menyingsing.

Sumber: muhandisun.wordpress.com

No comments:

Post a Comment

HUKUM SOLAT TIDAK PAKAI BAJU DALAM BAGI PEREMPUAN DAN SELUAR DALAM BAGI LELAKI.INI JAWAPAN YANG PERLU DIKETAHUI.

HUKUM SOLAT TIDAK PAKAI BAJU DALAM BAGI PEREMPUAN DAN SELUAR DALAM BAGI LELAKI.INI JAWAPAN YANG PERLU DIKETAHUI. Sudah tentu terta...